Loading

Saturday, August 20, 2011

Sejarah, hikmah dan buah Idul Fitri

Arti Kata ‘Id
Untuk khutbah hari ini saya akan menerangkan sedikit latar belakang perihal ‘Id. Umumnya orang Islam belum mengetahui kapan dan bagaimana merayakan ‘Id serta tatacara seperti apa ‘Id pada zaman Rasulullah SAW.
Jadi, pertama-tama akan saya jelaskan arti dari kata ‘id dan dari mana asalnya kata tersebut. ‘Aada – ya’uudu – ‘uudan artinya “kembali ke asal dan balik ke semula, datang berkali-kali”. Berkali-kali datang dan kembali dikatakan sebagai ‘id. Masdarnya adalah ‘uudan. Datangnya sesuatu sesudah yang lain juga digunakan kata ini.
Di dalam bahasa Urdu, kata ‘aadat yang sudah baku asalnya dari kata ‘aud, yang darinya lahir kata ‘iid. Dan bila kita pergi menjenguk (‘iyaadat) orang sakit, kata ‘iyaadat pun berasal dari akar kata itu yang berubah bentuknya. Adat (‘aadat) yang telah melekat pun bisa dikatakan ‘aadat mustamirah (adat kebiasaan yang baku).
Begitu juga dalam Islam, istilah ‘id digunakan untuk kegembiraan, dan sejauh hubungannya dengan menjenguk (‘iyaadat) orang sakit di dalamnya mengandung pengertian bahwa dengan seringnya menjenguk (‘iyaadat) orang sakit maka akan mendatangkan ketenteraman bagi si pasien (orang sakit). Dan karena seringnya menjenguk (‘iyaadat) orang sakit tersebut maka menyebabkan ia (si pasien) mendapat kesembuhan…..
Pendek kata, pada hari ini yang merupakan pengabulan bagi taubat setelah dilakukannya pengorbanan di bulan Ramadhan, ada satu khabar suka dari Tuhan bahwa, “Ibadah kalian terkabul, pengorbanan kalian telah diterima. Allah Yang Mahasuci telah menganugerahkan kepada kalian kehidupan baru nan suci.” Dalam hari kegembiraan yang dirayakan ini dinamakan ‘id. Dan di dalamnya terkandung doa, “Semoga hari ini menghampiri kita berulangkali dan berkali-kali pula kita dapat berkumpul dengan kegembiraan dalam hari yang seperti itu.” …..
‘Id Perdana
Kapan ‘Id dilaksanakan? Tentang hal ini sejauh yang saya selidiki terbukti bahwa Ramadhan pertama kali dilaksanakan pada tahun ke-2 Hijrah. Dan bukti ini tidak ada sanggahan tertulis dari kitab manapun. Dan pada bulan Ramadhan tersebut sedang terjadi Perang Badar, yang beberapa hari kemudian tiba hari ‘Id dan orang-orang Islam telah merayakan ‘Id pertama setelah perang selesai selagi luka-luka akibat perang belum pulih sepenuhnya.
Tentang Rasulullah SAW sendiri diriwayatkan bahwa keletihan masih membekas pada beliau SAW yang karenanya beliau SAW bersandar pada Hadhrat Bilal RA dan pada saat bersandar itulah beliau menyampaikan khutbah. Inilah ‘Id yang beberapa hari sebelumnya beliau SAW telah mengumumkan Sedekah (Zakat) Fitrah disamping mewajibkannya. Beliau SAW bersabda bahwa Fithrah ‘Id telah diwajibkan atas seluruh sahabat yakni pada waktu itu telah dikumpulkan Fitrah dari orang-orang Islam dan sudah terkumpul sebelum tiba hari ‘Id lalu dibagi-bagikan kepada fakir-miskin pada hari ‘Id atau sesudahnya.
Hafizh Ibnu Katsir pun mengakui riwayat ini dan menerangkan bahwa pada kesempatan ‘Id pertama, mula pertama Rasulullah SAW pergi meninggalkan masjid menuju suatu tanah lapang dan di sana merayakan ‘Id. Setelah itu semua perayaan ‘Id berjalan (dilakukan) seperti itu yakni semua berkumpul di lapangan terbuka untuk melaksanakan Shalat ‘Id, bukan dalam masjid.
Satu hikmah yang melatarbelakanginya yaitu ‘Id merupakan nama keadaan berkumpulnya orang-orang dari berbagai pelosok yang lebih luas. Bukan hanya berkumpulnya orang-orang sekota di satu masjid jami’ melainkan berkumpulnya orang-orang dari daerah-daerah yang jangkauannya lebih luas dalam satu tempat dan satu sama lain saling gembira. Oleh karena itu lazimnya masjid-masjid biasa akan menjadi kecil dan Rasulullah SAW dengan latar belakang ini telah mengerjakan Shalat ‘Id di lapangan terbuka.
Sebagai batas pemisah, di hadapan beliau SAW ditancapkan tombak dan tombak itulah yang telah dihadiahkan oleh Raja Najasi kepada Hadhrat Zubair RA. Sesudah itu cara inilah yang menjadi kebiasaan. Bila saja Rasulullah SAW hadir mengimami Shalat ‘Id selalu dipasang batas pemisah yang mengarah ke kiblat agar apabila ada yang lewat tidak merusak kekhusu’an shalat. Biasanya batas pemisah yang digunakan tombak atau tongkat dan di masa kemudian hal ini menjadi kebiasaan yang berlanjut…..
Tanpa Adzan dan Iqamat
Ada satu riwayat lain yang juga dituturkan oleh Hadhrat Jabir RA, “Saya bersama Rasulullah SAW hadir shalat pada hari ‘Id. Beliau SAW memimpin shalat sebelum berkhutbah – seperti kebiasaan sampai saat ini – tanpa adzan dan iqamat. Setelah selesai shalat beliau SAW berdiri dengan bersandar pada Bilal RA – ini kira-kira pada kesempatan ‘Id yang pertama – dan beliau menekankan tentang ketakwaan kepada hadirin, menggalakkan tentang ketaatan serta nasehat lainnya. Kemudian beliau SAW menghampiri kaum wanita dan memberikan nasehat-nasehat pula.”
Itulah sebabnya setelah shalat dan khutbah ‘Id, saya pun mendatangi kaum wanita dan memberikan nasehat-nasehat karena ini merupakan sunnah Rasulullah SAW dan ini adalah hak bagi kaum wanita agar mereka didatangi dan diberikan sedikit wejangan. Beliau SAW tidak bicara panjang lebar di depan kaum wanita namun sedikit banyak pasti beliau SAW menyampaikan beberapa patah kata sebagai nasehat.
Nasehat kepada Kaum Wanita
Pada kesempatan itu tatkala diberlakukan Sedekah (Zakat) ‘Idul Fitri, Rasulullah SAW memberikan nasehat kepada kaum wanita supaya membayar sedekah, kalau tidak maka yang terbanyak di antara kaum wanita akan menjadi bahan api neraka. Kemudian seorang wanita berdiri. Dan sesuai dengan penuturan Hadhrat Jabir RA, ia seorang wanita berkulit merah kehitaman yaitu warna hitam yang tidak terlalu pekat, lebih mendekati kemerah-merahan. Begitulah gambaran kulit wanita tersebut.
Ia seorang wanita terhormat di lingkungan masyarakatnya, ia bertanya keheranan, “Mengapa demikian, wahai Rasulullah? Apakah yang terjadi pada kaum wanita sehingga Yang Mulia memperingatkan perkara neraka?” Rasulullah SAW menjawab, “Karena kalian terlalu banyak berkeluh-kesah dan tidak berterima kasih terhadap suami kalian.”
Menurut Hadhrat Jabir RA bahwa ketika itu kaum wanita melepaskan gelang, kalung, anting-anting mereka dan mengumpulkannya pada kain selendang Hadhrat Bilal RA. Mereka melakukan demikian agar kesalahan dan kelalaiannya dapat terhapus dengan pemberian sedekah tersebut dan Allah Ta’ala ridha atasnya (HR Muslim dan Nasa’i).
Cara Rasulullah SAW Merayakan ‘Idul Fitri
Bagaimana cara Rasulullah SAW merayakan hari ‘Id? Terdapat riwayat di dalam Shahih Bukhari, Kitaabul ‘Iidain dan Shahih Muslim, Kitaabush-Shalaatul ‘Iidain, sebagai berikut: Hadhrat Aisyah RA menerangkan , “Rasulullah SAW pulang ke rumahku, saat itu hari ‘Id. Ketika itu didekatku ada dua orang anak perempuan sedang menyanyikan lagu peperangan Bu’ats. Beliau SAW berbaring di atas dipan dan memalingkan wajah beliau ke tempat lain. Mereka bukan saja memainkan seruling yang biasa digunakan di kalangan orang-orang Arab disertai nyanyian merdu bahkan juga diiringi rebana dan lain-lain. Rasulullah SAW berbaring di atas dipan dan kemudian mengalihkan perhatian ke arah mereka. Lalu dating Abu Bakar RA serta memarahiku dan berkata, ‘Bunyi seruling setan dan rebana di dekat Rasulullah SAW?’. Namun beliau SAW tidak merasa keberatan atas suara merdu tersebut.” (dalam hadits di atas Nabi s.a.w. tidak menganjurkan cara memperingati hari raya dengan tetabuhan dan nyanyian melainkan itulah cara orang habsyi Madinah merayakan kegembiraan. Nabi s.a.w. tdk melarangnya…memberi toleransi karena dari isi nyanyian tdk bertentangan dng ajaran Islam dan hikmah Id. Dildaar)
Seruling, Rebana dan Lagu
Dewasa ini banyak type kyai yang secara bengis menetapkan haram mendengarkan suara merdu wanita. Suara merdu yang bagaimana yang boleh didengar serta memperdengarkan (menyanyikan) tentang apa, ini patut diambil penyelesaiannya yaitu apakah patut mendengarkannya ataukah tidak? Dan ini pun tergantung siapa orang yang mendengarkannya; hal ini sedikit banyak berbeda. Namun walaupun demikian Hadhrat Abu Bakar RA berkata, “Bunyi seruling setan dan rebana di dekat Rasulullah SAW?” dan Rasulullah SAW melihat kepada Hadhrat Abu Bakar RA seraya bersabda, “Biarkan mereka bernyanyi.”
Kemesraan
[Selanjutnya Hadhrat ‘Aisyah RA menceritakan], “Ketika beliau SAW lengah kuisyaratkan kepada kedua anak perempuan itu untuk pergi. Jadi inilah hari ‘Id di mana orang-orang Habsyi bermain pedang dan perisai lalu kukatakan kepada Rasulullah SAW atau barangkali beliau SAW yang mengatakan kepadaku – yakni orang yang meriwayatkan tidak ingat apa yang dikatakan Hadhrat ‘Aisyah RA: Apakah aku yang berkata ataukah Rasulullah SAW sendiri yang mengatakan kepadaku – katanya, ‘Apakah engkau ingin melihat pertunjukan itu?’ Aku jawab, ‘Ya, lalu beliau menyuruhku berdiri di sampingnya dan pipiku dekat dengan pipi beliau. Beliau SAW berkata, ‘Hai Bani Afridah, perlihatkan lagi pertunjukan’, sampai akhirnya aku merasa bosan lalu beliau SAW menyuruhnya berhenti dan menyuruh pergi kedua anak perempuan tersebut.”
Lagu-lagu yang Sopan dalam Perayaan ‘Id dan Pernikahan
Inilah cara kegembiraan yang bersih dan selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW pada hari raya ‘Id bersama-sama dengan istri beliau SAW. Dan ada riwayat mengenai hal itu dalam Shahih Bukhari yang menerangkan bahwa anak perempuan itu bukanlah penyanyi bayaran yang memiliki suara yang bagus. Diriwayatkan pula bahwa Hadhrat Abu Bakar RA mengatakan di hadapan Rasulullah SAW, “Bunyi seruling setan dan rebana?” Riwayat ini menerangkan perihal hari raya ‘Id. Dan di dalam riwayat yang berbeda ini dikatakan bahwa Rasulullah SAW bermaksud untuk memberi pengertian kepada Hadhrat Abu Bakar RA bahwa tiap-tiap kaum mempunyai suatu cara merayakan Hari Rayanya dan sekarang adalah hari raya ‘Id kita. Jadi, pada kesempatan bergembira [mendengarkan] nyanyian anak-anak perempuan tidak dilarang.
Sebagian orang juga menyanggah (melarang) adanya lagu-lagu dan bunyi-bunyian pada waktu perayaan perkawinan serta memperlihatkan tindakan keras yang melampaui batas. Sebaiknya lagu-lagu jangan yang mengandung unsur jorok. Kalau menyanyikan lagu-lagu yang ungkapannya baik dan suci maka tidaklah ada halangan untuk didengar oleh tuan rumah ataupun tamu undangan.
Akan tetapi bila suatu perkara dipandang berlebihan dan melampaui batas maka perkara itu tidak lebih baik bahkan menjadi buruk. Oleh karena itu dalam perkara ini harus diperhatikan proporsi (keseimbangan)nya (Bukhari, Kitaab Al-‘Idain, Baab Sunnatul ‘Idain Lil-Ahlil-Islam).
Hari Raya Pra-Islam
Ada riwayat tentang hari raya ‘Id bahwa Rasulullah SAW ketika tiba di Madinah mengadakan suatu perayaan selama dua hari yang di dalamnya seluruh kaum ikut bergembira. Di dalam pertemuan-pertemuan tersebut dikisahkan tentang orang-orang terdahulu yang mereka hormati. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Tuhan telah menetapkan dari dua hari ini sebagai Hari Raya yang terbaik bagimu. Pertama hari raya ‘Idul Fithri dan kedua, hari raya ‘Idul Adh-ha” (Sunan Abu Dawud, Kitaab Ash-Shalat Baab Shaalat ‘Idain).
Menyikapi Istri yang Kurang Bersyukur
….. para wanita ….. berlebih-lebihan seperti sabda Rasulullah SAW bahwa kaum wanita banyak yang tidak bersyukur. Bagaimana sikap Rasulullah SAW? Beliau SAW bersabda, “Khoirukum khoirukum li-ahlihi wa ana khoirukum” (Di antara kalian yang terbaik dalam pandangan Tuhan adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya) dan saya adalah contoh yang terbaik dalam hal perlakuan terhadap istri.”
Rasulullah SAW tidak pernah menampakkan sikap dan tindakan yang tidak terpuji akibat ketidakbersyukuran istri. Beliau SAW memberi pengertian dengan cara yang baik dan kasih-sayang, juga turut mendoakan, hasilnya mereka yang sebelumnya memang wanita-wanita terhormat dan suci di hadapan Tuhan, mereka telah meraih keberhasilan. Mereka setelah mendapat didikan Rasulullah SAW telah menjadi seorang yang bersih dan berkilauan serta meninggalkan suri teladan yang suci bagi generasi wanita selanjutnya.
Ketidakbersyukuran mereka dahulu berubah menjadi rasa syukur yang dalam. Rasa kesadaran mereka dari hari ke hari terus bertambah. Tak ada yang lebih dari keberuntungan seperti itu di masa wanita-wanita itu berada di dalam rumah kehidupan Rasulullah SAW. Jadi, perhatikan suri teladan Rasulullah SAW dan carilah berkat kerohanian dari beliau SAW. Jika tidak demikian, saya meyakinkan Saudara-saudara bahwa karenanya beliau SAW akan berduka. Wanita-wanita yang bukan saja menjadi sasaran aniaya suaminya bahkan ibu/bapak mertua pun turut pula menganiayanya; tentu beragam keadaan deritanya. Pada saat gembira pun tidak dibiarkannya; dan tanpa kesalahan mereka mencaci serta mencercanya…..
Demikian pula ibu mertua pun memperlihatkan kebencian dan mendidik anaknya agar menbenci istrinya. Apakah ia sendiri bukan seorang wanita?! Apakah ia sendiri tidak menjadi sasaran kebencian itu?! Adalah suatu tindakan tercela dan tidak simpati apabila terdapat di lingkungan keluarga Ahmadi; berarti kita tidak pantas untuk menjadi pendidik bagi seluruh dunia.
Eropa dan Emansipasi Wanita
Saat ini masyarakat Eropa tengah menggembar-gemborkan perihal harga diri dan kehormatan wanita dan mereka mencela Islam. Karena menurut anggapan mereka Islam tidak memberi tempat terhormat kepada kaum wanita. Oleh karena itu biarpun Saudara-saudara mengajarkan ribuan kali tetapi apabila Saudara-saudara tidak mendudukkan kaum wanita (istri) pada tempat terhormat di mata masyarakat niscaya Saudara-saudara (para suami) bukanlah orang yang berhak untuk menampilkan wajah Islam kepada bangsa-bangsa lain dengan sempurna sebab dengan perlakuan terbaik terhadap kaum wanita akan tercipta masyarakat yang terbaik yang tidak dapat dijumpai di sini.
Di tengah masyarakat bangsa Eropa gencar dibicarakan soal kebebasan kaum wanita, kehormatan kaum wanita, hak-hak mereka tetapi kenyataannya kaum wanita sendiri pada masyarakat Barat dipermainkan ibarat sebuah barang mainan yang apabila sudah tak berguna keadaannya seperti barang rongsokan yang dibuang yang karenanya pihak keluarganya akan teramat duka. Kebebasan yang mereka gembar-gemborkan hanyalah sebuah semboyan semata tetapi kenyataannya kaum wanita sangat teraniaya. Akibat mabuk berapa banyak kaum wanita yang menjadi korban aniaya dan ini merupakan suatu kenyataan yang sangat mencemaskan.
Oleh karena itu saya tidak mengatakan bahwa keadaan masyarakat Barat ini baik tetapi hal-hal yang baik mesti diakui bahwa itu betul sesuatu yang baik. Kalau harga diri kaum wanita gencar dibicarakan maka sungguh pembicaraan itu suatu hal yang baik meskipun pada prakteknya demikian atau tidak. Bila dibicarakan seputar harga diri dan kehormatan wanita, topik pembicaraan ini bagus akan tetapi yang lebih dari itu bisa diperoleh dalam agama Islam.
Para Suami Harus Berlaku Baik terhadap Istri-istrinya
Perlakuan terhadap wanita seperti yang dipraktekkan Hadhrat Rasulullah SAW apabila kita perhatikan sejarah para nabi yang ada di seluruh dunia yang sampai kepada kita, bisa saja dikatakan bahwa perlakuan yang seperti itu di dunia manapun tidak pernah ada dipraktekkan oleh seorang pria terhadap seseorang wanita. Ini contoh keteladanan bagi kita yang harus kita amalkan di rumah tangga masing-masing maka Saudara-saudara pasti akan memperoleh ‘Id yang hakiki. Jika tidak maka kedukaan akan menimpa Saudara-saudara…..
‘Id yang hakiki baru bias dirasakan manakala Saudara-saudara akan memperlakukan istri-istri seperti perlakuan Rasulullah SAW terhadap istri-istri beliau…..
Lingkungan masyarakat akan menjadikan citra kehidupan surga di rumahnya maka demi Tuhan, Saudara-saudara akan unggul, tidak lambat bahkan akan lebih cepat lagi karena inilah contoh amalan yang saat ini telah dinantikan oleh dunia dan tidak akan didapat contoh ini selain dari rumah tangga Ahmadi. Semoga Allah SWT memberi taufik kepada kita sekalian…..
Saya berpikir bahwa pada kesempatan hari raya ‘Id ini saya harus mengingatkan mereka dan menyampaikan ‘Id Mubarak terlebih dahulu kepada mereka dari kita semua, saya sendiri, atas nama seluruh dunia dan dari seluruh anggota Jemaat di seluruh dunia, saya ucapkan: Assalamu ‘alaikum dan ‘Id Mubarak kepada keluarga orang-orang Ahmadi yang telah syahid dan salam penuh kecintaan serta ‘Id Mubarak dari seluruh warga Jemaat untuk orang-orang yang teraniaya di jalan Allah, baik mereka yang telah menanggung kedukaan dan yang sedang menghadapinya.
Khutbah Kedua
Setelah khutbah kedua dan sebelum berdoa, Hudhur ATBA bersabda, “Sebelum berdoa, sebagai tambahan, saya ingin menyampaikan satu permohonan lagi: agar orang-orang Ahmadi yang berasal dari tempat jauh, dengan rasa kecintaan menanggung kesusahan mengeluarkan biaya serta meninggalkan kebahagiaan ‘Id di rumah dan sengaja datang untuk mengucapkan belasungkawa, kepada semuanya saya haturkan jazakumullah ahsanal jaza dan ‘Id Mubarak. Mari kita berdoa. 

Sumber: Darsus No. 44/1992 (Penerjemah: Mln. H. Zafrullah Nasir, Mbsy).
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Share
Facebook
Dibaca 6.245 kali

Entri Populer